Rabu, 25 September 2013

KKN part 2

Hey, sejujurnya miris rasanya kalau mau meninggalkan dunia menulis hanya karena sesuatu.
Btw, sekarang dimana-mana potongan rambut cewek lagi musim pendek... entahlah apa itu ada ngaruhnya dengan musim putus yang terjadi di kalangan teman-temanku. Hahahaha,
Ternyata 2 bulan meninggalkan sebuah tempat itu, banyak hal yang berubah.
Yah, terutama tempat yang ditinggalakan. Situasi, orang-orangnya, alur ceritanya, semuanya udah beda dengan 2 bulan yang lalu.

But life is never flat, jadi nggak heran. Sesuatu yang tidak dapat dihentikan sebenarnya adalah perubahan itu sendiri.
Btw, kalau kemarin saya sudah sempat cerita bagaimana bulan-bulan pertamaku di t4 KKN, saat ini saya akan melanjutkan memper-sharingkan (Ala Vicky, hahahah) kisah yang (entahlah penting atau tidak) untuk kalian. Semoga bisa diambil hikmahnya saja yaaa...

Tempat dingin selalu identik dengan rasa lapar yang berlebihan.
Dan hal itu memicu kita untuk sering mengunyah.
yah, itulah yang terjadi padaku.
Tapi sayangnya untuk ingin makan-makanan yang aneh-aneh disana pilihannya terbatas.
Misalnya pengen makan roti pisang coklat, atau pengen makan bolu lapis, yaaah... disana mah adanya cuma donat biasa, dengan biapooonggggg :/
Maka muka pun perlahan menjadi seperti biapong.

Tinggal di antara gunung-gunung/lereng memang awalnya seperti membuat kita terkurung di suatu tempat, yang kalau tiba-tiba terjadi apa-apa, entahlah apakah dunia luar sana akan tahu atau tidak (kelihatannya tempat ini seakan terpencil dan terisolasi )
Diawali dengan rasa bosan, merindukan hal-hal yang ada di kota... seperti : internet, tempat nongkrong, karaokean, pisang ijo (hiks hiks), Mie Ayam, Binte... hmm, btw sepertinya makanan lebih dirindukan dari pada orang-orangnya (hehehe)
#entahlah kau sebenarnya mengerti makna tulisan ini atau tidak# i just dont care :p

Pada akhirnya di bulan kedua, keadaan berbalik dan berputar... manusia memang punya kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Seakan mulai terbiasa dengan suhu yang dingin di lembah lereng gunung ini, kami berenam pun sepertinya mulai hanyut dalam kebersamaan dengan warga salodik.

Terkhusus untuk adik-adik di SD, yang sangat menggemaskan itu. Anak-anak tetaplah anak-anak. Tidak ada jaim dalam diri mereka, tidak ada malu-malu, tidak ada sandiwara.
Mereka selalu senang tiap melihatku(kami) datang ke sekolah hendak mengajar. Terkadang mereka memanggil-manggil dari dalam kelas agar kami mau masuk di kelas mereka dan mengajari mereka.
Anak-anak ini adalah anak-anak yang punya semangat belajar tinggi, hanya saja guru yang mengajar di sekolah tersebut masih sangat terbatas. Ditambah lagi, mayoritas guru yang mengajar di salodik, tidak bertempat tinggal di desa tersebut, melainkan di kota yang jaraknya 1 jam dari desa.




Dan mungkin di blog ini saya tidak akan menghamburkan dan menceritakan secara detail segala program kerja yang kami laksanakan disana. Tapi yang jelas, dalam kebersamaan apalagi yang menyatukan 6 orang dengan pemikiran berbeda, background terapan ilmu berbeda, dan watak yang berbeda, hal-hal yang tak diduga bisa terjadi. Misalnya perselisihan, kekecewaan, bisa terjadi kapan saja. Tapi justru hal-hal itu yang membuat taste dari kisah itu menjadi "berasa". Ternyata alur cerita yang kebanyakan selalu ditutup dengan happy ending itu emang betul. Dalam hidup ini, hal-hal miris selalu bisa saja di bungkus dan diakhiri dengan kebersamaan yang mengharukan.

Bahkan Sebelum sempat ramainya film 5 cm, kami sudah duluan bersama-sama memanjat gunung. Gunungnya bernama gunung mandala.
Dan serius keren banget pemandangannya dari atas. Dari sinilah saya baru sadar tentang sense of climbing. Bisa sampai di puncak sebuah gunung dan melihat pemandangan yang jarang kita lihat setiap hari memang menjadi filosofi dan kepuasan tersendiri.


Jika ada titik awal kita menarik sebuah garis, maka suatu saat garis tersebut akan berhenti dan putus di suatu titik. Mungkin begitulah ilustrasi sebuah pertemuan dan perpisahan.
Tidak dirasa, jika kami tiba di minggu-minggu terakhir berada di Salodik.
Maka tibalah hari dimana Bus telah menjemput kami. Perpisahan yang diselingi dengan derai air mata pun tak kuasa dapat ditahan.

Bagaimanapun juga, di desa... setidaknya kami mendapatkan dan mengerti beberapa hal yang tak ada di kota. Disini, kami dihargai sebagai MANUSIA SEUTUHNYA. Sedangkan di kota, keangkuhan, jabatan, tingkat strata materi, kasta membuat kita (mahasiswa) dipandang sebelah mata. Di sini, kami mendapatkan kebersamaan, kekeluargaan yang besar...tidak seperti di kota yang bernuansa individualistis. Disini kami belajar bahwa ternyata, di luar dunia kami masih begitu banyak dunia yang belum terjamah, dan masih begitu jauh dari pada dunia yang sudah kami tempati sekarang. Jika mau perduli, ternyata banyak orang yang perlu uluran tangan kita. Tidak hanya pada segi finasial, tapi tenaga, dukungan moril, pendidikan yang sangat mereka butuhkan.



Kata orang KKN memang hanya sekali seumur hidup. Awalnya ketika memilih tempat KKN di luwuk bagian desa, saya ada sedikit keraguan dan ketakutan... tapi saat ini saya mau katakan, bahwa
Saya tidak pernah sama sekali menyesal telah melalui masa-masa KKN di Salodik, Luwuk... masa yang hanya terjalani sekali dalam hidup ini. Kelak, semoga pengalaman tersebut memberikan arti dan pelajaran berharga dalam hidup ini. Amin :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar